Belakangan saya memahami bahwa yang saya alami adalah sikap alami dan wajar yang dirasakan seseorang ketika melihat pencapaian orang lain di mana di saat bersamaan dia merasa dia tidak melakukan apa apa. Dia tidak mencapai yang orang lain gapai, dia tidak punya yang orang lain punya. Sesederhana itu. Lalu buat apa energi terbuang dengan marah dan mengutuki diri sendiri? bilang saja iri, dan semua selesai. Akui saja bahwa kita tak sehebat mereka, kita tak segigih mereka dalam berusaha, kita sama sama sering kali terjatuh lalu sama sama bangkit. Bedanya, tiap kali mereka jatuh mereka selalu membuat perhitungan yang lebih matang. Akui saja.
Masa masa di mana postingan teman memicu saya menjadi marah lalu insecure kembali dengan kondisi saya yang saat itu harus mengASIhi bayi -yang kadang saya anggap sebagai beban karena dialah hidup saya berubah- sedangkan teman teman yang lain sibuk meniti karir , itu sudah berlalu. Karena saya mengakui kok, ya saya memang ditakdirkan bernasib seperti ini, lagipula saya tidak nganggur nganggur amat, saya punya pekerjaan meski tidak ada slip gaji. Saya bisa belajar dari sosmed, saya masih bisa 'pamer' apa yang saya miliki meski saya memilih tidak menggunakan sosmed sebagai sarana untuk menunjukan ke dunia apa saja yang sudah saya capai karena nyatanya tidak ada.
Sejujurnya, dari lubuk hati saya yang paling dalam ingin bilang kepada semua ibu muda yang pernah atau yang sedang insecure seperti saya bahwa tidak jadi apa apa pun tidak masalah, tidak punya karir pekerjaan pun sama sekali bukan masalah. Toh, duniawi bukan perlombaan, sudah ada masa dan porsinya sendiri sendiri. Tidak perlulah menutupi insecure kita dengan memposting sesuatu yang malah membuat kita haus akan pengakuan, hidup yang kita punyai dan jalani sekarang juga sebuah anugrah. Tidak berarti tidak indah meski kita hanya menjadi orang biasa.
Skip sajalah postingan yang bikin kita terpicu alias ke- triggered, ya memang beda persoalan antara postingan yang mereka bagi dengan reaksi kita. Lebih ke hidup itu sawang sinawang , jangan sampai membuat kita lupa bersyukur bahwa meski kita tidak bersepatu hak tinggi setiap hari, kita lah yang bertanggung jawab penuh atas hak perut bagi semua anggota keluarga.
0 comments:
Post a Comment